bajo
MENGENAL KEPULAUAN SEPEKAN
Sapeken adalah sebuah kecamatan di Kepulauan Kangean, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Wilayah ini terletak di bagian paling ujung . Uniknya, penduduk di Kepulauan Sapeken ini berbahasa Sulawesi (bahasanya: bahasa Bajau, bahasa Mandar dan sebagian kecil berbahasa Bugis) bukan berbahasa Madura karena dalam sejarahnya orang Sulawesilah yang menemukan kepulauan ini. Begitu juga dengankultur budaya sangat berbeda dengan budaya Madura, rata-rata suku yang ada di Kepulauan Sapeken (Kecamatan Sapeken) Suku Bajau, sukuMandar dan suku Bugis. Kepulauan Sapeken ini terletak di sebelah utara Bali.
Sulit mengatakan keadaan ekonomi pulau tersebut. Mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai nelayan dan pedagang. Ditinjau dari segi bentuk rumah mayoritas berbentuk rumah panggung yang kelihatannya bisa dikatakan rumah yang sederhana sekali. Mereka membuat rumah panggung karena dulu pada waktu air laut pasang sampai masuk ke rumah penduduk. Kembali ke masalah ekonomi. Bila ditinjau dari segi kepemilikan isi perabotan rumah tanggah, mereka termasuk orang orang yang mampu. Mayoritas mereka mempunayai TV 21 inc, kulkas, Hp yang
minimal ada kameranya. Maklum mereka mudah mencari uang tinggal pergi
melaut dapat ikan dijual sudah dapat pendapatan. Umumnya mereka pergi ke
kota Singaraja karena untuk perjalan hanya dapat ditempuh kira-kira 6 jam. Kalau kira-kira persediaan udah menipis mereka pergi ke laut lagi untuk mencari ikan. Itulah kebiasaan orang-orang Sapeken
Pulau Sapeken, Sebuah Metropulau
Ibukota Kecamatan Sapeken adalah Pulau Sapeken. Kecamatan tersebut terdiri dari 33 pulau kecil dan 9 desa. Sebanyak 5 pulau yang tidak terhuni warga. Pulau Sapeken luasnya hanya sekitar 3,5 km persegi dengan jumlah penduduk 11.343 KK. Saking padatnya penduduk Pulau Sapeken, pendatang menyebutnya sebagai pulau metropolis. Nyaris tidak lahan kosong, semuanya dipadati rumah penduduk, layaknya kota metropolitan. Selebihnya hanya ada lapangan olahraga dan ditambah satu hektare tanaman kelapa. Kendati pulau kecil, Pulau Sapeken mempunyai tiga masjid. Kehidupan keagamaan masyarakat Sapeken tergolong dinamis, ada beberapa aliran dan organisasi masyarakat Islam seperti NU, Persis, Muhammadiyah dan lainnya. Umat non muslim hanya 0,5 persen saja, kerukunan antar umat beragama tergolong sangat baik.
Ibukota Kecamatan Sapeken adalah Pulau Sapeken. Kecamatan tersebut terdiri dari 33 pulau kecil dan 9 desa. Sebanyak 5 pulau yang tidak terhuni warga. Pulau Sapeken luasnya hanya sekitar 3,5 km persegi dengan jumlah penduduk 11.343 KK. Saking padatnya penduduk Pulau Sapeken, pendatang menyebutnya sebagai pulau metropolis. Nyaris tidak lahan kosong, semuanya dipadati rumah penduduk, layaknya kota metropolitan. Selebihnya hanya ada lapangan olahraga dan ditambah satu hektare tanaman kelapa. Kendati pulau kecil, Pulau Sapeken mempunyai tiga masjid. Kehidupan keagamaan masyarakat Sapeken tergolong dinamis, ada beberapa aliran dan organisasi masyarakat Islam seperti NU, Persis, Muhammadiyah dan lainnya. Umat non muslim hanya 0,5 persen saja, kerukunan antar umat beragama tergolong sangat baik.
Meski termasuk ke dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Sumenep, namun
masyarakat di sana tidak ada yang menggunakan bahasa Madura. Ada
beberapa bahasa yang digunakan masyarakat dalam sehari-hari. Pertama,
Bahasa Indonesia, Bahasa Bajo, Bugis, Makassar dan Mandu (semuanya
Sulawesi). Hanya sejumlah orang saja yang bisa bahasa Madura ala
Sumenep. Penduduk Sapeken dari sejarahnya memang pendatang dari daerah
Makassar. Ketika itu, orang kampung Bajo Sulawesi Selatan beralayar cari
ikan dan menetap di Pulau Sapeken.
Penghasilan utama penduduk Sapeken adalah mencari ikan dilaut. Sayangnya
sistem penjualan hasil tangkapan masih tradisional. Minimnya perhatian
pemerintah memaksa sebagian penduduknya untuk merantau jauh ke luar
negeri. Sepintas taraf ekonomi masyarakat kepulauan Sapeken boleh jadi
melebihi kesejahteraan ekonomi masyarakat daratan Sumenep. Kendati
masyarakat hidup di pulau-pulau kecil nan jauh dari keramaian, kebutuhan
ekonomi masyarakat selalu tercukupi. Ini berbeda, dengan kondisi
masyarakat daratan yang selalu mengharap bantuan-bantuan dari
pemerintah, serupa Jaring Pengamanan Sosial (JPS).
Masyarakat kepulauan tidak begitu suka akan bantuan-bantuan yang
bersifat memanjakan masyarakat dan tidak mengajak masyarakat untuk
kreatif menggali potensi ekonomi kepulauan. Apalagi, bantuan semacam itu
bertolak belakang dengan kinerja nelayan yang dikenal pantang menyerah
sebelum sukses. Seperti, usaha pelaut atau nelayan yang sebelum berhasil
menangkap ikan tidak mau pulang ke darat. “Di kepulauan banyak potensi.
Kenapa masyarakat tidak dibekali keterampilan untuk dibina, seperti
budi daya ikan kerapu,” ujar salah seorang penduduk.
Kesehatan dan pendidikan merupakan masalah serius di masyarakat
kepulauan. Alat transportasi tenaga medis dan tenaga pendidik sangatlah
minim dan hanya mengandalkan perahu saja. Guru-guru dari kabupaten
biasanya hanya datang sebentar untuk menengok kondisi sekolah, namun
tidak pernah betah berlama-lama tinggal di sana.
Transportasi tampaknya menjadi kendala utama bagi pengembangan potensi
wisata di pulau yang penduduknya menggunakan bahasa suku Bajo tersebut,
termasuk bagi 29 pulau lainnya yang berada di Kecamatan Sapeken.
Perjalanan laut Sapekan-Makassar bila melalui perahu mesin mencapai 24
jam, Sapaken-Bali 10 jam, Sapeken-Banyuwangi memakan waktu 12 jam.
Sementara ke Sumenep warga Sapeken harus ke Pulau Kangean sekitar 5 jam.
Ditambah dari Kangean ke Kalianget naik kapal ferry Kartika sekitar 8
jam.
Gugus Kepulauan Kangean dikaruniai kandungan minyak-bumi di bawah
tanahnya. Saat ini ada perusahaan pertambangan gas dan minyak bumi
tengah beroperasi di sana, sebuah potensi yang semakin membangkitkan
keinginan penduduk setempat untuk menjadi sebuah daerah otonom. Sebuah
kasus sekarang lazim terjadi di berbagai tempat di pelosok tanah air
akibat kurangnya perhatian pemerintah melalui pembangunan berwawasan
maritim dan kesadaran akan menentukan nasib sendiri yang semakin
bergejolak.
Pulau Pagerungan Kecil
Sekilas Pulau Pagerungan Kecil tidak memperlihatkan keistimewaan di antara beberapa pulau yang ada di sekitarnya. Deretan pohon kelapa yang diselingi pohon-pohon pisang tampak mendominasi jenis tanaman di pulau, yang memiliki jumlah penduduk 4.469 jiwa tersebut.
Sekilas Pulau Pagerungan Kecil tidak memperlihatkan keistimewaan di antara beberapa pulau yang ada di sekitarnya. Deretan pohon kelapa yang diselingi pohon-pohon pisang tampak mendominasi jenis tanaman di pulau, yang memiliki jumlah penduduk 4.469 jiwa tersebut.
Berada di antara gugusan Kepulauan Kangean, pulau ini pun tidak termasuk
dalam daftar tujuan wisata sebagaimana Pulau Madura yang berada di
bagian barat, maupun Pulau Bali yang berjarak 60 mil di bagian selatan.
Meski secara administratif pulau ini masuk Kabupaten Sumenep, Provinsi
Jawa Timur, namun secara geografis keberadaan Pulau Pagerungan Kecil
lebih dekat ke Pulau Bali
Namun dari kebersahajaan pulau yang baru dikenal dan dihuni penduduk
sejak awal 1910 tersebut, kini telah terukir sebuah momen sejarah baru
kemaritiman Indonesia. Di pulau inilah sebuah replika kapal tradisio
nal yang digunakan nenek moyang bangsa Indonesia untuk berlayar sampai
ke Afrika Selatan beberapa abad lalu dibuat oleh penduduk setempat.
Lallai Baka Ellau
Adalah As’ad Abdullah, seorang pembuat kapal tradisional warga Pagerungan Kecil, yang telah mengangkat nama Pulau Pagerungan di media nasional dan internasional. Nick Burmingham yang telah mengunjungi sejumlah ahli pembuat kapal tradisional di seluruh Indonesia, yakin bahwa As’ad mampu melaksanakan pembuatan replika kapal bernilai sejarah tersebut.
Adalah As’ad Abdullah, seorang pembuat kapal tradisional warga Pagerungan Kecil, yang telah mengangkat nama Pulau Pagerungan di media nasional dan internasional. Nick Burmingham yang telah mengunjungi sejumlah ahli pembuat kapal tradisional di seluruh Indonesia, yakin bahwa As’ad mampu melaksanakan pembuatan replika kapal bernilai sejarah tersebut.
Sementara dari sisi rancang bangun, As’ad – kini berusia 72 tahun –
menjelaskan bahwa kapal Borobudur tersebut mengambil desain dari corak
perahu Soppe yang digunakan oleh suku Bajo sekitar abad ke-8. Bahkan
untuk nama kapal itu pun digunakan bahasa Bajo yaitu Lallai Baka Ellau,
yang berarti “berlari bersama Matahari”. Kelak kemudian hari ketika
peresmian pelayaran ekspedisi Borobudur, Presiden Megawati memberi nama
Samudraraksa kepada kapal karya As’ad dan kawan-kawan tersebut,
menggantikan nama indah Lallai Baka Ellau.
Menurut Nick, nama Lallai Baka Ellau itu dipilih karena misi
ekspedisi yang dijalankan adalah menuju arah barat, membuat kapal
tersebut seolah-olah tengah mengejar Matahari atau Ellau. Sebagai
catatan, salah satu bukti telah terjadi hubungan dagang antara
Madagaskar dan Nusantara di masa lalu adalah adanya kesamaan sejumlah
nama benda di antara kedua bangsa, termasuk Ellau sendiri yang juga
berarti Matahari dalam bahasa Madagaskar.INI LAH GAMBAR KEPULAUAN SE[EKEN DAN KEPULAUAN LAINNYA:
pulau sepanjang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar